Resensi Terbaru

Selasa, 18 Februari 2014

Syekh Siti Jenar & Suluk Nusantara

Belakangan ini, banyak studi tentang Siti Jenar meramaikan semarak tasawuf di negeri kita. Salah satunya, Novel Suluk Abdul Jalil, Perjalanan Ruhani Syeh Siti Jenar (LKiS, 2003) karya Agus Sunyoto. Cover dari
 novel tujuh jilid tersebut cukup menarik. Ada seorang pakaian putih, berkerudung daun pisang. Kepalanya tak tampak karena tertutup kerudung daun itu. Sungguh mistik, semistik kandungan isinya. Ia menggambarkan sebuah perjalanan sunyi spiritual (suluk) yang tidak harus diketahui orang, atau bahkan disesatkan masyarakat sekalipun.
Yang menarik, novel hasil riset ini merujuk kepada teks Jawa-Baratan yang melihat Siti Jenar lebih manusiawi. Hal yang berbeda dengan mitos di Jawa-Tengahan. Di belahan ini, Siti Jenar dianggap evolusi mistis dari cacing yang "mencuri ilmu" pengajaran Sunan Bonang atas Sunan Kalijaga. Menarik, karena Agus Sunyoto mampu menemukan aspek gerakan politik egalitarian yang mengobrak-abrik feodalisme Rajadewa di Jawa. Satu pembaruan politik yang mungkin sangat modern, karena wahdatul wujud kemudian melahirkan kontrak sosial selayak demokrasi klasik.

Apakah ini yang membuat ajaran Siti Jenar disesatkan? Betulkah ia melampaui syari'at? Kenapa harus bersitegang dengan Walisongo, dan benarkah ketegangan itu? Bukankah Dewan Wali juga sudah mencapai maqam manunggaling kawula gusti? Dan bagaimana aplikasi ajaran Siti Jenar terhadap kegersangan spiritual urban di era materialistik ini? Berikut ini wawancara Cahaya Sufi dengan salah satu pendekar peradaban Nusantara asal Surabaya, yang sangat hafal lekuk sejarah, bahasa, dan kebudayaan Hindu-Jawa tersebut.

Sejak kapan mas Agus melakukan riset tentang Siti Jenar, dan kenapa memilih tokoh ini sebagai objek riset? Adakah momen spiritual spesial, yang menggerakkan mas untuk menulis novel Siti Jenar? 
Saya mulai kenal nama Syaikh Siti Jenar (SSJ) sejak kakek saya bercerita tentang tokoh tersebut. Kakek orang asal desa Ploso, Jombang, santri Tebuireng angkatan pertama. Kakek saya cerita kalau ajaran SSJ beliau peroleh dari KH Hasyim Asy'ari. Sejak menulis cerbung Kyai Ageng Badar Wonosobo di Jawa Pos tahun 1987-1988, saya sudah ngumpulkan data tentang SSJ.

Penelitian intensif saya terhadap ajaran SSJ lewat Thariqat Akmaliyyah saya  mulai tahun 1999. Momentum saya nulis cerita  SSJ dipicu oleh  terjadinya peristiwa  2 November 2001 yang 'melukai' jiwa saya. Saat itu saya diundang teman-teman aktivis NU di Jogja untuk bicara geopolitik-geostrategi pasca jatuhnya Gus Dur. Dalam acara itu, saya dapati sekulerisme dan rasionalisme yang empirik materialistik sangat menguasai cara pandang anak-anak muda NU. Mereka lebih yakin kebenaran gagasan Karl Marx, Georg Lukac, Antonio Gramsci, Jacques  Derrida dalam filsafat dan teori-teori  sosial daripada kebenaran  agama. Bahkan mereka anggap term-term iman dan taqwa dalam perubahan sosial sebagai 'takhayul' yang tidak bisa dijadikan pijakan analisis sosial.

Saat itu saya terilhami untuk memberi alternatif teoritik dalam filsafat dan perubahan sosial yang khas Nusantara kepada anak-anak muda NU ini, yaitu momentum sejarah di era Walisongo yang dimotori SSJ. Dari 7 jilid buku SSJ yang saya tulis, konsep filosofis dan sosiologi saya tuang di buku 3-4-5 dengan titel Sang Pembaharu. Jadi lewat buku SSJ saya memberi alternatif pilihan bagi kawan-kawan aktivis NU dalam penggunaan teori sosial dengan asumsi dasar, paradigma, dogma, doktrin, mitos yang khas Nusantara-Islam (maaf, selama ini orang Indonesia yang dididik di sekolah  selalu mengekor teori-teori Barat & tidak mampu membangun teori sendiri).  

Jika ini riset, kenapa dituangkan dalam bentuk novel? Apakah penulisan ilmiah kognitif tidak memadai bagi pengalaman spiritual? Konsep penulisan ilmiah kognitif adalah hegemoni Barat dalam pengetahuan. Saya menolak itu. Sebab konsep itu hanya berpijak pada ilmu akal (rasio). Sementara pengetahuan Islam dan Timur, mengenal dua sistem pengetahuan:
1) Ilmu Akal/Nalar yang berpusat di otak manusia;
2) Ilmu Qalbu/ Kaweruh yang berpusat di qalbu manusia.

Sepanjang saya pelajari sejarah, hampir semua naskah dari era Kalingga sampai Majapahit menggunakan bahasa sastra seperti
  1. Perjalanan Hayam Wuruk dalam reportase Pu Prapanca yang diberi judul Negarakertagama ditulis dalam bahasa sastra;
  2. Sejarah Perang Bubat ditulis dalam bahasa kidung; 
  3. Penegakan awal  Majapahit hingga pemberontakan Ranggalawe ditulis dalam sastra yaitu Kidung Panjiwijayakrama yang isinya identik dengan isi  prasasti2; di kitab ketatanegaraan seperti Nitipraja ditulis dalam bentuk sastra. Hanya KUHP seperti Kutara Manawa yang ditulis tidak dalam bahasa sastra. 
Lewat institusi  sekolah, Barat sudah menghegemoni pikiran kita, dengan asumsi dasar bahwa karya-karya sastra adalah karya imajiner yang tidak ilmiah. Ini sangat hegemonik dan konyol, karena karya-karya fiksi seperti Republic yang ditulis Plato, The Utopian Island yang ditulis Thomas Moore, City of The Sun yang ditulis Tomasso Campanella, Also Sprach Zaratushtra yang ditulis Nietzsche, bahkan teori Karl Marx yang imajiner tentang masyarakat komunis dianggap karya filsafat. Sementara kalau karya reportase, sejarah, tatanegara, filsafat, hukum  ditulis dalam bentuk sastra oleh bangsa kulit berwarna dinilai karya imajiner. Itu ras diskriminasi. Kita yang bodoh dan bermental inlander saja yang menerima dan mengekor pandangan Barat itu dengan membuta. Jadi sebagai seorang yang sadar akan eksistensi diri manusia merdeka,  saya tulis hasil penelitian saya dalam bentuk novel sebagai resistensi saya terhadap hegemoni Barat dan sekaligus membangkitkan budaya lama Nusantara. Lantaran itu karya-karya novel saya selalu disertai exegese dan daftar pustaka. Dan ternyata, masyarakat Nusantara  lebih mudah memahami penjelasan lewat bahasa sehari-hari yang saya sampaikan daripada jika saya gunakan bahasa ilmiah ala Barat (baca novel saya Rahuvana Tattwa).

Apa penemuan baru yang mas temukan dalam riset tersebut, mengingat Siti Jenar merupakan simbol kontroversi dalam sejarah tasawuf kita? Apakah ia sebatas mitos, yang ditulis untuk menggambarkan pergulatan kebudayaan Islam Jawa, ataukah sebagai person sejarah, ia nyata ada?
Karena penelitian yang saya lakukan menggunakan pendekatan kualitatif yang sebenarnya sudah digunakan sarjana-sarjana muslim di masa silam, maka obyek-subyek yang saya teliti adalah tarikat-tarikat yang menisbatkan ajaran kepada SSJ. Itu berarti, SSJ bukan tokoh fiktif karena meninggalkan ajaran tarikat yang riil diikuti masyarakat hingga di jaman ini.

Temuan saya yang unik tentang ajaran tarikat SSJ itu, sbb: 
  1. tidak ada mursyid dalam wujud manusia karena mursyid ada di dalam ruhani manusia (seperti konsep Dewaruci dalam ajaran Sunan Kalijaga);
  2. menafikan semua pengkultusan terhadap manusia, benda-benda bertuah, makam-makam keramat,  dan makhluk gaib;
  3. tidak mengenal konsep jama'ah dalam mujahadah sehingga dilakukan sendiri-sendiri karena itu ajaran  jadi tertutup dan terrahasia; 
  4. mengajarkan filsafat sebagai ilmu akal dalam memahami konsep Tauhid untuk memulai perjalanan ruhani sebagai pijakan awal dalam memasuki ajaran ruhani yang hanya menggunakan ilmu qalb; 
  5. SSJ tidak mengajarkan cara menuju surga maupun menghindari neraka karena keduanya dianggap makhluk, sehingga inti ajarannya hanya terfokus pada bagaimana cara menuju Allah; 
  6. tidak ada doa-doa dan wirid-wirid maupun hizb yang memberi peluang pamrih bagi manusia untuk meminta nikmat kepada Allah; 
  7. SSJ hanya mengajarkan dzikir dan tanafus dalam rangka menuju Allah. Saya kira, dengan ciri-ciri ini, wajar jika ajaran SSJ jadi kontroversial dalam sejarah tasawuf di Nusantara.
Mohon penjelasan tentang ajaran Siti Jenar, terkait sasahidan, sangkan paraning dumadi, awang-uwung, dan manuggaling kawula gusti.
Yang dimaksud Sasahidan adalah ajaran tentang  persaksian dalam perjalanan ruhani mendaki (taraqqi) menuju Allah. Persaksian al-murid menuju Al-Murid melalui maqam-maqam.

Puncak dari  persaksian adalah saat keakuan seseorang sudah lenyap (fana') tenggelam  dalam Allah.  Saat itulah   seluruh makhluk mempersaksikan bahwa keakuan yang lenyap itu telah bersemayam di dalam Dzat Tuhan Yang Mahasuci dan karenanya memiliki sifat-sifat Ilahi. Itulah tahap penyatuan Ruh Ilahi  yang bersemayam di dalam diri manusia saat ditiupkan (nafakhtu)  pada waktu penciptaan dengan Allah yang meniupkan-Nya. Itulah tahap kembalinya Ruh al-Haqq kepada Al-Haqq.

Itulah tahap puncak kembalinya unsur Ilahiyyah di dalam diri manusia (Ruh al-Haqq) kepada Sang Pencipta (ini tidak bisa dijabarkan secara ilmiah karena merupakan pengalaman ruhani yang tak terwakili oleh bahasa manusia. Ini sama dengan peristiwa ruhani Isra' wa Mi'raj yang tidak bisa dijabarkan secara ilmiah). 

Yang dimaksud Sangkan Paraning Dumadi adalah ajaran yang memutlakkan Huwa sebagai Dzat Mutlak yang Azali yang menjadi Sumber segala sumber penciptaan. Huwa itu tak terjangkau akal. Tak terjabarkan konsep. Tak terbandingkan. Huwa adalah Huwa. Tan kena kinaya ngapa. Tidak bisa diapa-apakan. Laisa kamitslihi syai'un. Dia dilambangkan dengan Suwung. Hampa. Tetapi bukan hampa yang tidak ada melainkan Ada tetapi tak tergambarkan. Karena itu lambang Suwung itu disebut juga Awang-Uwung. Ada tetapi tidak ada. Tidak ada tetapi Ada. Huwa yang tak terjangkau itu kemudian muncul sebagai Pribadi Ilahi, Allah, yang  dikenal Sifat dan  Asma-Nya.

Pribadi Ilahi yang disebut Allah itulah Yang menjadi Pusat segala ciptaan di mana segala ciptaan pada dasarnya adalah 'pemunculan' dari Dzat, Sifat, Asma, Af'al dari Sang Pencipta. Proses 'pemunculan' itu diyakini melalui tujuh tahap tanazzul : Haahuut - Laahuut - Jabaruut - Malakuut  - Asmaa' --  Nasuut.
Apakah segenap ajaran tersebut merupakan elaborasi atas bentuk mistik Ibn 'Arabi (wahdatul wujud) dan martabat tujuh (al-maratib al-sab'ah) milik al-Burhanpuri? Apakah ia memang terkonstruk dalam terma tasawuf falsafi yang dekat dengan Syi'ah?
Saya belum meneliti hubungan ajaran SSJ dengan Ibnu Araby, Burhanpuri maupun Syi'ah. Namun merujuk silsilah Tarikat Akmaliyyah yang berpuncak pada Abu Bakar as-Shiddiq dan watak tarikatnya yang egaliter, saya tidak melihat hubungan tarikat SSJ dengan tasawuf  Syi'ah.

Adakah proses akulturasi antara Islam dan mistik Hindu-Jawa dalam tasawuf Jenar? 
Sepanjang yang saya tahu, mistik Hindu-Jawa penuh dengan perangkat ritual dengan banyak simbol-simbol dalam upacara bersifat mistis. Sementara ajaran tarikat SSJ 'bersih' dari simbol dan upacara ritual bersifat mistis. Tarikat SSJ sangat ringkas. Aplikatif. Tidak dikenal dewa-dewa sebagai perantara menuju Sang Mahadewa. Tidak dikenal juga wasilah melalui  wali-wali keramat. Yang dikenal adalah hubungan langsung dari manusia sebagai individu menuju Allah dengan satu-satunya wasilah: Nur Muhammad.

Kontroversi nyata yang mengiringi ajaran Siti Jenar adalah tuduhan "abai syari'at". Jika sudah manunggal, maka syari'at tak dibutuhkan lagi. Apakah betul? Mohon penjelasan hubungan antara syari'at dan hakikat dalam tasawuf Siti Jenar. 
Tuduhan "mengabaikan syariat" sangat lekat dengan ajaran SSJ. Itu terkait dengan prinsip disiplin keilmuan yang harus dipilahkan secara tegas. Maksudnya, disiplin syariat atau lebih spesifik ilmu fiqih tidak boleh digunakan memaknai dan  menilai ilmu tasawuf.  Sebab piranti pengetahuan, asumsi dasar, paradigma, dogma, doktrin, dan mitos  masing disiplin  sangat berbeda.

Dalam disiplin ilmu tasawuf, misal, ajaran SSJ menganut faham wahdatul adyan (kesatuan agama-agama) di mana  semua  agama sejatinya adalah berasal dari Tuhan dan orang seorang menganut agama tertentu karena kehendak Tuhan semata. Dengan pandangan itu, murid-murid SSJ dalam agama formal tetap ada yang Hindu dan Buddha maupun Kapitayan. Kepada mereka tentu saja SSJ tidak memerintahkan untuk menjalankan syariat Islam.

Jika ada yang tanya kenapa SSJ tidak mensyaratkan semua muridnya Islam? Itulah pandangan ulama sufi yang tidak sederhana untuk dinilai dengan kacamata fiqih. Selain itu,  para pengikut SSJ memandang bahwa ketentuan syariat yang diwajibkan atas manusia tidak bersifat mutlak. Semua hal yang bukan Tuhan selalu nisbi.  Demikian juga syariat. Orang gila, anak belum baligh, orang pingsan, orang tidur, orang tidak sempurna akalnya, orang idiot, orang hilang ingatan, orang linglung, misal,  pasti tidak kena hukum wajib syariat. Karena itu, pada saat seseorang dalam perjalanan ruhani tenggelam ke dalam Tauhid (fanaa fii Tauhid) yang berarti hilang kesadaran jati dirinya, lenyap keakuannya, tidak kena hukum syariat. Bagaimana dia bisa menjalankan syariat sedang dirinya sendiri saja dia tidak sadar. Tetapi manakala orang sudah sadar kembali dari keadaan lupa diri (karena hanya ingat Allah saja) dan hidup bermasyarakat, maka wajib bagi dia mengikuti  syariat.
Nah yang sering terjadi di kalangan pengamal ajaran SSJ dari kalangan grass-root yang sejak awal memang tidak berada di lingkungan kaum agamis, menggunakan klaim bahwa SSJ menolak syariat dengan tujuan utama agar mereka tidak menjalani syariat. Bahkan berbeda jauh dengan SSJ yang menganggap syariat adalah sarana penting untuk menjaga kerendahan hati dan merupakan pijakan awal untuk mencapai ma'rifat setelah melalui thariqat dan hakikat, mereka yang dari kalangan grass-root justru menganggap bahwa syariat adalah lambang kerendahan maqam ruhani. Ini sangat berlawanan dengan ajaran SSJ.

Mereka terjebak oleh ketidak-fahaman dan terjerat sifat takabur. Bahkan karena grass-root tak terdidik dan tidak mampu mewadahi ajaran SSJ yang sarat dengan pemikiran filosofis, mereka menafsirkan ajaran SSJ dengan ilmu otak-atik matuk. Ini sangat berbeda dengan pengamal ajaran SSJ dari kalangan bangsawan dan ulama (sayangnya mereka menutup diri dan merahasiakan ajarannya secara sangat eksklusif).
Terkait dengan pertanyaan diatas, betulkah Jenar dieksekusi (hukuman mati) oleh Wali Songo? Kalau benar, apa sebabnya? Ajarannya kah, atau lebih kepada kepentingan politik rezim Demak? 
SSJ tidak dihukum mati Walisongo. Tapi ajarannya dilarang oleh Trenggana, Sultan Demak. Latarnya jelas politis. Keikut-sertaan Walisongo dalam proses pelarangan ajaran SSJ, menurut saya,  lebih disebabkan oleh "keharusan moral" untuk memihak kepentingan Trenggana dalam kapasitas keluarga. Hendaknya diingat, bahwa Trenggana adalah cucu Sunan Ampel. Sunan Bonang adalah uwaknya. Sunan Drajat adalah pamannya. Sunan Giri II adalah sepupunya. Sunan Kalijaga adalah mertuanya. Sunan Gunung Jati adalah besannya. Sunan Ngudung sepupu jauhnya.

Proses politisasi  itu terlihat dari kisah dieksekusinya SSJ di Masjid Demak dan di Masjid Kasepuhan Cirebon dengan  skenario yang mirip. Apa bisa satu orang dieksekusi dua kali? Dan mayat keduanya diganti anjing. Ironisnya dikisahkan mayat SSJ menebarkan bau wangi dan darahnya menuliskan kalimah Laailaha ilallah Muhammadur rasulullah. 

Bukankah skenario itu menaikkan pamor SSJ yang matinya sangat menakjubkan? Sebaliknya menjelekkan Walisongo sebagai ulama-ulama curang.? 
Pengikut SSJ justru tidak suka dengan cerita versi itu. Mereka yakin SSJ tidak dieksekusi. Hanya ajaran SSJ yang dilarang oleh penguasa dewasa itu dengan dukungan formal Walisongo.

Apakah ekses politik dari ajaran Siti Jenar, sehingga ia patut "disingkirkan" oleh otoritas yang ada? Kepentingan siapakah yang paling terusik? 
Ajaran egalitarianisme SSJ yang meneladani ajaran Nabi Saw dan sahabat, jelas menimbulkan dampak langsung dengan eksesnya karena dewasa itu bisa dianggap sangat berbahaya bagi sistem kekuasaan di Jawa yang menganut konsep Dewaraja (raja adalah titisan Tuhan) yang berlangsung meski orang sudah memeluk Islam. Kata ganti "Ingsun" yang digunakan oleh SSJ dan pengikut (Sunan Giri dan warga Gresik juga sama) adalah penghinaan spiritual terhadap raja. Karena kata ganti tersebut di era itu hanya hak diucapkan oleh raja. Selain raja, orang  harus menggunakan kata ganti Kula atau  Kawula (Jawa), Abdi (Sunda), saya atau sahaya (Melayu) yang bermakna budak. Bahkan  di hadapan raja, orang  harus menggunakan kata ganti diri "patik" (anjing). Gagasan SSJ tentang komunitas "masyarakat" yang berasal dari istilah Arab musyarakah (orang sederajat  yang bekerja sama)menggantikan komunitas "kawula"  (budak)  di desa-desa Lemah Abang benar-benar membahayakan sistem kekuasaan dewasa itu. 

Demikianlah, para pengikut SSJ yang disebut "kaum Abangan" (pengikut Syaikh Lemah Abang atau penduduk desa Lemah Abang) diposisikan sebagai kelompok murtad yang harus dibasmi. Pernyataan Sunan Giri II yang berbunyi,"SSJ kafir inda al-naas wa mu'min inda Allah" menunjuk sinyalemen adanya latar politis di balik "penggusuran" ajaran SSJ.

Banyak orang yang melihat tasawuf falsafi: tasawuf yang berangkat dari paradigma penyatuan khalik-makhluk secara mistis, merupakan sisi agama yang rumit, ekslusif, disamping sering dianggap menyimpang. Bagaimana Jenar bisa fungsional, khususnya bagi kegersangan spiritual masyarakat kota? 
Sejak semula ajaran SSJ memang rumit dan sangat eksklusif. Tarikat Akmaliyah sendiri sangat tertutup. Di kalangan internal ada ketentuan yang mengatur para pengikut untuk tidak membahas ajaran SSJ kepada orang luar. Mereka mengikuti aturan yang berbunyi, "Ajaran ini haram  dibicarakan kepada orang-orang yang tidak sama iktikadnya." Dengan ketentuan itu, kayaknya ajaran SSJ memang sulit disosialisasi sebagai ajaran yang terbuka dan bersifat umum. Namun demikian, di era global ketika pengetahuan manusia sudah mencapai tahap yang paling tinggi dari sejarah peradaban manusia, ajaran SSJ ternyata bisa diterima sebagai sesuatu yang masuk akal dan sepertinya  bisa diamalkan. 

Di era global sekarang ini, pemikiran, gagasan, konsep, dan pandangan SSJ justru banyak dijadikan kajian oleh orang Islam maupun non-Islam. Nah yang paling sulit dari ajaran SSJ untuk diaplikasi secara umum adalah pemahaman terhadap konsep Allah sebagai Sang Suwung  yang meliputi segala. Sebab pada tahap ruhani itu, orang jadi aneh karena ia merasa selalu  diliputi dan 'dilihat' Allah di mana saja berada sehingga pemikiran, ucapan, tindakan, dan gerak-geriknya sering menjadi ewuh-pakewuh dan tidak normal. Karena itu, menurut saya, yang paling sesuai dipelajari orang di era sekarang ini cukuplah ajaran filosofis SSJ sebagaimana banyak ditulis orang dan bukan tarikatnya.

Sumber : 
www.sufinews.com

Bagi sahabat yang berminat pesan buku "Suluk Abdul Jalil komplit seri 1-7, silakan SMS/WA : 081393725615. Atau Order online di SINI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

We will keep You Updated...
Sign up to receive breaking news
as well as receive other site updates!
Subscribe via RSS Feed subscribe to feeds
Sponsors
Devi Online Book StoreKaravina.comPenerbit Dolphin
Tempat IklanTempat IklanTempat Iklan
Connect with Facebook
Todays Quote :
Love is the expansion of two natures in such a fashion that each includes the other, each is enriched by the other. #Felix Adler 1851-1933
Search
Thankyou